Kamis, 25 Oktober 2012

kenapa manusia perlu belajar ? (dalam pertanyaan)



1.      Sebutkan syarat-syarat yang harus dipenuhi sebelum perubahan perilaku dapat dihubungkan dengan proses belajar?
Jawaban :
Pertama, belajar diukur berdasarkan perubahan dalam perilaku; dengan kata lain, hasil dari belajar harus selalu diterjemahakan ke dalam perilaku atau tindakan yang dapat diamati. Setelah menjalani proses belajar, pembelajar (learner) akan mampu melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka lakukan sebelum mereka belajar. Kebanyakan teoritisi belajar memandang belajar sebagai sebuah proses yang memperantarai perilaku. Menurut mereka, belajar adalah sesuatu yang terjadi sebagai hasil atau akibat dari pengalaman dan mendahului perubahan perilaku. Dalam kerangka definisi ini, belajar ditempatkan sebagai variabel pengintervensi (intervening) atau variable perantara. Variabel perantara ini adalah proses teoritis yang diasumsikan terjadi di antara stimuli dan respon yang diamati. Variabel independen (variabel bebas) (pengalaman) menyebabkan perubahan dalam variabel perantara (proses belajar), yang pada gilirannya akan menimbulkan perubahan dalam variabel dependen (variabel terikat) (perilaku).
Kedua, perubahan behavioral ini relative permanent; artinya, hanya sementara dan tidak menetap. Di sini setidaknya terdapat dua macam problem. Pertama, Seberapa lamakah perubahan perilaku harus bertahan sebelum dikatakan bahwa proses belajar telah kelihatan hasilnya? Aspek ini pada awalnya dimasukkan dalam definisi di atas untuk membedakan antara belajar dengan kejadian lain yang mungkin mengubah perilaku, seperti keletihan, sakit, pendewasaan, dan narkoba. Jelas, kejadian ini dan efeknya mungkin akan datang dan pergi dengan cepat, tetapi hasil dari belajar akan terus menetap sampai ia dilupakan atau muncul hasil belajar baru yang menggantikan hasil belajar yang lama. Jadi, keadaan temporer dan proses belajar akan memodifikasi perilaku, tetapi lewat belajar itulah modifikasi tersebut akan lebih relatif permanen. Namun, durasi modifikasi yang muncul dari belajar atau keadaan tubuh yang temporer itu tidak bisa ditentukan secara pasti. Problem lainnya terkait dengan fenomena yang menjadi perhatian sejumlah psikolog, yang disebut short-term memory (memori jangka pendek). Mereka menemukan bahwa jika informasi yang asing, seperti kata-kata yang tak bisa dipahami, diberikan kepada seseorang dalam suatu percobaan di mana informasi itu tidak diulang-ulang, orang itu akan mengingat kata-kata itu secara hampir sempurna selama sekitar tiga detik saja. Tetapi dalam waktu 15 detik selanjutnya, ingatan mereka turun hingga hampir ke titik nol atau lupa sama sekali.
Ketiga, perubahan perilaku itu tidak selalu terjadi secara langsung setelah proses belajar selesai. Artinya, hal-hal yang dipelajari mungkin tidak akan langsung dimanfaatkan. Atlet, misalnya, mungkin belajar posisi tertentu dengan melihat film dan mendengarkan penjelasan pelatih selama seminggu, namun mereka mungkin tidak menerjemahkan proses belajar itu ke dalam perilaku sampai tiba waktu pertandingan. Beberapa pemain bahkan tidak melakukan apa-apa selama waktu yang agak panjang karena sakit atau cidera.
Keempat, perubahan perilaku itu berasal dari pengalaman atau praktik (latihan). Jelas bahwa tak semua perilaku dipelajari. Perilaku yang lebih sederhana adalah hasil dari refleks. Sebuah reflex (refleks) dapat didefinisikan sebagai respon yang tak dipelajari lebih dahulu atau respon pembawaan internal dalam rangka bereaksi terhadap sekelompok stimuli tertentu. Perilaku refleks tidak perlu dipelajari terlebih dahulu; ia adalah karakteristik bawaan genetic dari organisme, bukan hasil dari pengalaman.Agar perubahan perilaku bisa dikatakan berkaitan dengan proses belajar, perubahan itu harus relative permanent dan harus berasal dari pengalaman. Jika suatu organisme melakukan suatu pola tindakan yang kompleks, namun bukan berasal dari pengalaman, maka tindakan itu tidak bisa dikatakan sebagai perilaku yang dipelajari.
Kelima, pengalaman, atau praktik, harus diperkuat; artinya, hanya respons-respons yang menyebabkan penguatanlah yang akan dipelajari. Namun harus dibedakan antara penguatan (reinforcement) dan imbalan (reward). Meskipun kedua istilah itu kerap dianggap sama, namun setidaknya ada dua alasan mengapa anggapan itu kurang tepat. Pavlov, misalnya, mendefinisikan suatu penguat (reinforcer) sebagai unconditioned stimulus, yakni setiap stimulus yang menimbulkan reaksi alamiah dan otomatis dari suatu organisme, sedangkan imbalan dianggap sebagai sesuatu yang diinginkan. Penganut Skinnerian juga tidak mau menyamakan penguat dengan imbalan. Menurut mereka, pengnuat akan memperkuat setiap perilaku yang secara langsung mendahului kejadian penguat. Sebaliknya, imabalan biasanya dianggap sebagai suatu yang diberikan atau diterima hanya untuk prestasi yang layak pencapaiannya membutuhkan waktu dan energi, atau diberikan untuk tindakan yang dianggap diinginkan oleh masyarakat. Lebih jauh, karena perilaku yang diinginkan itu biasanya sudah lama ada sebelum perilaku tersebut diakui lewat pemberian imbalan, maka imbalan itu tidak bisa dikatakan memperkuat perilaku itu. Jadi menurut penganut Skinnerian, penguat akan memperkuat perilaku, namun imabalan tidak.
(sumber : http://fajristainjusi.blogspot.com/2010/10/apa-itu-belajar.html, diunduh tanggal 5 Februari 2012,22:21:00 dan B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning.)

2.      Jelaskan proses sensitisasi dan habituasi yang terjadi dalam kehidupan anda?
-          Proses sensitisasi adalah proses suatu organisme lebih responsife terhadap aspek tertentu dari lingkungannya.      Contoh dalam kehidupan : Sebelim kejadian tsunami di Aceh tahun 2004, saya dan keluarga hanya keluar dari bangunan ketika terjadi gempa dan kemudian masuk kembali setelah gempa selesai. Tetapi setelah kejadian tsunami di Aceh, maka saya dan keluarga langsung mencari informasi apakah setalah gempa ada bahaya datangnya  tsunami atau tidak setelah gempa terjadi.
-          Proses habituasi adalah proses dimana suatu organisme menjadi kurang responsife pada lingkungannya. Contoh : Ketika alam suatu ruangan tercium bau tetapi saya tidak dapat keluar atau menghindar dari ruangantersebut, maka lama kelamaan saya jadi terbiasa dengan bau dalam ruangan.
(Sumber : B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning)

3.      Bedakan antara belajar dan performa /tindakan
Perbadeaann antara belajar dan performa/tindakan terletak pada tipe observasi. Belajar merujuk pada kemungkinan (potensi) perubahan perilaku, dan tindakan merujuk pada penerjemahan potensi ke dalam perilaku.
Bandura mendesain fase untuk menjelaskan perbedaan belajar-performa. Dalam fase ini, semua anak diberi insentif yang menarik agar mereproduksi (meniru) perilaku dari si model yang dilihatnya dalam televise sedang melakukan tindakan agressif, dan mereka semua melakukannya. Dengan kata lain, semua anak telah belajar, respon agressif model, tetapi mereka melakukannya dengan cara berbeda-beda, tergantung pada kekuatan mereka sebelumnya telah melihat model itu diperkuat, dihukum, atau mendapat konsekuensi netral. Kesimpulan tentang perbedaan belajar dan performa adalah sama. Temua utama dari kedua eksperimen itu bahwa penguatan adalah variable performa, bukan variable belajar. Menurut Bandura, belajar observasional terjadi sepanjag waktu serta tidak membutuhkan respon nyata atau penguatan. Bandura percaya bahwa pengamat harus menyadari kotigensi penguatan itu memberikan efeknya :”karena belajar melalui konsekuensi respon sebagian besar adalah proses kognitif, konsekuensi pada umumnya tidak banyak menghasilkan perubahan dalam perilaku yang kompleks jika tidak ada kesadaran akan apa-apa yang diperkuat itu.”
(Sumber : http://kedaibunga.wordpress.com oleh bunga, diunduh tanggal 5 Februari 2012, 2012,22:35:00 dan B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning.)

4.      Sebutkan beberapa contoh perilaku kompleks yang tak dipelajari lebih dahulu. Apakah perilaku itu juga ada di kalangan manusia? Jelaskan.
5.      Mengapa istilah insting diganti dengan istilah perilaku spesies spesifik ?
Istilah insting diganti dengan istilah perilaku spesies spesifik karena insting hanya diartikan sebagai pola perilaku kompleks yang merupakan warisan genetis, sedangkan perilaku spesies spesifik adalah pola perilaku kompleks yang tidak tak dipelajari lebih dahulu dan relatif tidak bisa dimodifikasi yang dilakukan oleh binatang spesies tertentu dalam situasi tertentu.
(Sumber : B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning)

6.      Sebutkan perbedaan antara istilah belajar dan pengkondisian !
Belajar adalah istilah umum yang digunkan untk mendeskripsikan perubahan potensi perilaku yang berasal dari pengalaman, sedangkan pengkondisian adalah istilah spesifik yang dipakai untuk mendeskripsikan prosedur aktual yang dapat memodifikasi perilaku.
(Sumber: B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning)

7.      Berapa banyak jenis proses belajar? jelaskan.
Banyak para ahli yang menyimpulkan bahwa setidaknya ada dua jenis belajar atau pada dasarnya belajar dapat dipahami dalam term pengkondisian klasik dan instrumental.
1) Pengkondisian Klasik. Dilakukan oleh Ivan Pavlov pada percobaaannya dengan saliva anjing. Percobaan tersebut dilakukan pada seekor anjing, kegiatannya adalah memberi makan anjing eksperimen dan mengukur volume air liur anjing tersebut di waktu makan. Setelah prosedur yang sama dilakukan beberapa kali, ternyata anjing tersebut mengeluarkan air liur sebelum menerima makanan. Pavlov menyimpulkan bahwa beberapa stimulus baru seperti pakaian peneliti yang serba putih, telah diasosiasikan oleh anjing tersebut dengan makanan sehingga menimbulkan respons keluarnya air liur.
Proses conditioning biasanya mengikuti prosedur umum yang sama. Misalkan seorang pakar psikologi ingin mengkondisikan seekor anjing untuk mengeluarkan air liur ketika mendengar bunyi lonceng. Sebelum conditioning, stimulus tanpa pengkondisian (makanan dalam mulut) secara otomatis menghasilkan respons tanpa pengkondisian (mengeluarkan air liur) dari anjing tersebut. Selama pengkondisian, peneliti membunyikan lonceng dan kemudian memberikan makanan pada anjing tersebut.Bunyi lonceng tersebut disebut stimulus netral karena pada awalnya tidak menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Namun, setelah peneliti mengulang-ulang asosiasi bunyi lonceng-makanan, bunyi lonceng tanpa disertai makanan akhirnya menyebabkan anjing tersebut mengeluarkan air liur. Anjing tersebut telah belajar mengasosiasikan bunyi lonceng dengan makanan. Bunyi lonceng menjadi stimulus dengan pengkondisian (conditioning Stimulus/CS), dan keluarnya air liur anjing disebut respons dengan pengkondisian (Unconditioning Stimulus/UCS)
2) Pengkondisian Instrumental
Skinner membedakan dua jenis perilaku yaitu :
a. Responden Behavior ( perilaku responden ), yang ditimbulkan oleh suatu stimulus yang dikenali.
b. Operant Behavior ( perilaku operan ), yang tidak diakibatkan oleh stimulus yang dikenal tetapi dilakukan sendiri oleh organisme.
Skinner tidak mengatakan bahwa perilaku operan terjadi secara independent stimulasi ; dia mengatakan bahwa stimulus yang menyebabkan perilaku tersebut tidak diketahui dan bahwa kita tidak perlu mengenali penyebabnya karena hal itu tidak penting. Berbeda dengan perilaku responden, yang bergantung pada stimulus yang mendahuluinya, perilaku operan dikontrol oleh konsekuensinya.
-          Pengkondisian Tipe S Dan Tipe R.
Dengan adanya dua macam perilaku tersebut, ada dua macam pengkondisian yaitu :
a. Respondent Conditioning ( pengkondisian responden ) atau pengkondisian tipe S
Indentik dengan pengkondisian klasik, karena menekan arti penting stimulus dalam menimbulkan respons yang diinginkan. ( berdasarkan besaran / magnitude dan respons yang terkondisikan).
b. Operant Conditioning ( pengkondisian operan ), pengkondisian tipe R. Tipe kondisi yang menyangkut perilaku operan dinamakan tipe R karena penekanannya pada respons.
-  Prinsip Pengkondisian Operan :
a. Setiap respons yang diikuti stimulus dengan stimulus yang menguatkan cenderung akan diulang.
b. Stimulus yang menguatkan adalah segala sesuatu yang memperbesar rata – rata terjadinya respons operan.
- Kotak Skiner ( skiner box )
Kotak skiner merupakan perkembangan dari puzzle box Thorndike. Skiner menggunakan binatang ( tikus dan merpati ) untuk percobaannya. Kotak Skiner biasanya menggunakan lantai berkisi – kisi, cahaya, tuas, atau pengukit dan cangkir makanan. Ketika hewan tersebut menekan tuas, maka secara otomatis, secuil makanan akan jatuh ke cangkir makanan.
Sumber (B.R. Hergenhahn & Matthew H. Olson, Theories of Learning, http://petiusang.wordpress.com, diunduh pada 5 Februari 2012,23:00:00 dan http://elearning.unesa.ac.id,  diunduh pada 5 Februari 2012,23:05:00)

Kamis, 24 Mei 2012

persepktif (teori) tentang kecemasan

Pada orang-orang yang mengalami kecemasan , dapat dilihat penyebab kecemasannya dalam beberapa pendekatan, yaitu :



Pada kategori diagnostic utama psikopatologi secara garis besar di bagi menjadi dua bagian yaitu neurosis dan psikosis. Neurosis merupakan penyakit mental yang belum begitu menghawatirkan karena baru masuk dalam kategori gangguan-gangguan, baik dalam susunan syaraf maupun kelainan prilaku, sikap dan aspek mental lainnya. Dan gangguan kecemasan merupakan psikopatologi yang neurosis.
Kecemasan memiliki karakteristik berupa munculnya perasaan takut dan kehati-hatian atau kewaspadaan yang tidak jelas dan tidak menyenangkan (Davison & Neale,2001, Kaplan, Sadock, & Grebb 1994) mengemukakan takut dan cemas merupakan dua emosi yang berfungsi sebagai tanda akan adanya suatu bahaya. Rasa takut muncul jika terdapat ancaman yang jelas, berasal dari lingkungan dan tidak menimbulkan konflik bagi individu sedangkan kecemasan muncul jika bahaya berasal dari dalam diri, tidak jelas, atau menyebabkan konflik bagi individu. Menurut Davison & Neale,2001 gangguan cemas berbeda dengan kecemasan normal dalam hal intensitas durasi serta dampaknya bagi individu.
A.    Perspektif Psikodinamika
Berdasarkan sumbernya, Freud membedakan kecemasan menjadi dua yaitu kecemasan realitas dan kecemasan neurotic. Kecemasan realitas adalah yang berasal dari kecemasan yang nyata, sedangkan kecemasan neurotic yang berasal dari motif dan konflik yang tidak disadari. Freud berpendapat kecemasan neurotic muncul dari konflik intrapsikis, misalnya yang dijelaskan pada fobia ketika dorongan id (seks & agresi) bertentangan dengan tuntutan super ego atau dapat dikatakan dorongan id berlawanan dengan tuntutan lingkungan eksternal, sehingga untuk menghindari sumber kecemasan internal tersebut ego mengalihkannya ( melakukan displacement) kepada ancaman yang obyeknya bisa diperoleh dari lingkungan.
Dalam pandangan Psikodinamika modern sepakat pada pandangan Freud tentang gejala kecemasan merupakan pertahanan terhadap konflik, tapi sumber kecemasan tidak terbatas pada dorongan biologis saja melainkan mencakup tuntutan dan frustasi yang berasal dari lingkungan social dan hubungan interpersonal. Misalnya seseorang yang tak berani berbicara didepan umum, sumber masalahnya menurut teori ini adalah berasal dari perasaan rendah dirinya. Orang dengan kepercayaan diri yang rendah akan merasa cemas pada situasi dimana dia bisa dilihat, dinilai atau dikritik orang lain, dan dia akan cenderung menghindari situasi tersebut. Psikodinamika berasumsi bahwa bahwa gejala kecemasan hanyalah indikator adanya masalah yang lebih mendalam dan tidak disadari.

B.     Perspektif Behaviorisme 
pada pendekatan behaviorisme lebih menekankan pada perilaku maladaptive tersebut,
perilaku maladaptive seperti gangguan fobia dapat dijelaskan dengan prinsip belajar, antara
lain :
      1. UCS → CS → UCR
      2. Modelling --- Ketakutan yang dipelajari atau didapat dari instruksi verbal/deskripsi dari orang lain. 

C.     Perspektif Kognitif 
Pada sudut pandang kognitif, kecemasan berhubungan dengan kecenderungan untuk lebih
memperhatikan stimulus negatif, menginterpretasikan informasi yang ambigu sebagai
ancaman dan percaya bahwa peristiwa-peristiwa yang tidak menyenangkan akan terjadi lagi
dimasa mendatang (matthew dan Mc Leod dalam Davison & Neale, 2001).

masalah-masalah yang dihadapi konselor


1.      Masalah-masalah yang dihadapi konselor
A.    Pendekatan Client-Centered Therapy (Carl Rogers) atau pendekatan psikoterapi non-direktif
1)      Konseli tidak mampu mengaktualisasikan dirinya walaupun sudah beberapa kali dilakukan proses terapi
2)      Konseli yang tidak aktif dalam menemukan jalan keluar dari permasalahannya
3)      Konseli yang tidak interaktif
4)      Konselor yang tidak mempunyai waktu lama, karena pendekatan ini dibutuhkan waktu yang lama
5)      Konselor yang terburu-buru dan tidak sabar
B.     Pendekatan Eklektik
1). Bagi konselor yang belum berpengalaman, akan kesulitan dalam memadukan jenis pendekatan yang sesuai dengan permasalahan klien
2). Konselor harus pandai menciptakan iklim konseling, mempunyai keterampilan dalam menciptakan hubungan yang baik antara konselor dengan klien, komunikasi verbal dan nonverbal, dan mempunyai kemampuan mendengarkan yang baik
3). Konselor harus mengerti pada semua pendekatan konseling yang ada
4). Konselor dan proses konseling dapat salah dan dapat tidak mampu untuk melihat secara jelas atau cepat berhasil dalam setiap konseling atau situasi klien
5). Pertimbangan profesional/pribadi konselor adalah faktor penting akan keberhasilan konseling pada berbagai tahap konseling.
2.      Peran dan fungsi konselor
A.    Pendekatan Client-Centered Therapy (Carl Rogers) atau pendekatan psikoterapi non-direktif
-    Peran : Konselor berperan hanya sebagai pendorong dan pencipta situasi yang memungkinkan klien untuk bisa berkembang sendiri. Dalam proses konseling, peran konselor yaitu mempertahankan 3 kondisi inti yaitu menunjukkan sikap yang selaras dan keaslian, penerimaan tanpa syarat, dan pemahaman empati yang tepat menghadirkan. Ketiga kondisi inti tersebut menghadirkan iklim kondusif untuk mendorong terjadinya perubahan terapeutik dan perkembangan konseli. Jadi, konselor berperan membantu klien dalam merefleksikan perasaan-perasaannya.
- Fungsi : konselor berfungsi dalam membantu klien mengungkap dan menemukan pemecahan masalah oleh dirinya sendiri. Dalam konseling non-direktif ada beberapa fungsi yang perlu dipenuhi oleh seorang konselor. Fungsi yang dimaksud, sebagai berikut:
(a)      Menciptakan hubungan yang bersifat permisif.
Menciptakan hubungan yang bersifat permisif, penuh pengertian, penuh penerimaan, kehangatan, terhindar dari segala bentuk ketegangan, tanpa memberikan penilaian baik positif maupun negatif. Dengan terciptanya hubungan yang demikian itu, secara langsung dapat melupakan ketegangan-ketegangan, perasaan-perasaan, dan mempertahankan diri klien. Menciptakan hubungan permisif bukan saja secara verbal tetapi juga secara nonverbal.
(b)      Mendorong pertumbuhan pribadi
Dalam konseling non-direktif fungsi konselor bukan saja membantu klien untuk melepaskan diri dari masalah-masalah yang dihadapinya, tetapi lebih dari itu adalah berfungsi untuk menumbuhkan perubahan-perubahab yang fudamental (terutama perubahan sikap). Jadi, proses hubungan konseling di sini adalah proses untuk membantu pertumbuhan dan pengembangan pribadi klien.
(c)      Mendorong kemampuan memecahkan masalah.
Dalam konseling non-direktif, konselor berfungsi dalam membantu klien agar ia mengambangkan kemampuan untuk memecahkan masalah. Jadi, dengan demikian salah satu potensi yang perli dikembangkan atau diaktualisasikan diri klien adalah potensi untuk memecahkan masalahnya sendiri.
B.     Pendekatan Eklektik
-          Peran : Dalam konseling eklektik peran konselor sangat fleksibel. Ada kemungkinan pada satu masalah konselor berperan sebagai psikoanalis dan pada masalah lain berperan sebagai partner dari klien. Hal ini didasarkan pada teori mana yang digunakan dalam proses konseling.
-          Fungsi : Membantu klien mengembangkan integrasinya pada level tertinggi,yang ditandai oleh adanya aktualisasi diri dan integritas yang memuaskan
3.      Langkah-langkah konseling dan Terapi
A.    Pendekatan Client-Centered Therapy (Carl Rogers) atau pendekatan psikoterapi non-direktif
Menurut Carl R. Rogers, ada beberapa langkah yang dapat digunakan sebagai  pedoman dalam melaksanakan konseling Non-Direktif. Namun kedua belas langkah yang dikemukan itu bukanlah langkah yang baku, dapat diubah-ubah. Langkah-langkah dimaksud adalah sebagai berikut:
1). Klien datang untuk meminta bantuan kepada konselor secara sukarela.
Bila klien datang atas petunjuk seseorang, maka konselor harus mampu menciptakan suasana permisif, santai, penuh keakraban dan kehangatan, serta terbuka, sehingga klien dapat menetukan sikap dalam pemecahan masalahnya.
2). Merumuskan situasi bantuan.
Dalam merumuskan konseling sebagai bantuan untuk klien , klien didorong untuk menerima tanggung jawab untuk melaksanakan pemecahan masalahnya sendiri. Dimana dorongan ini hanya bisa dilakukan apabila konselor yakin pada kemampuan klien untuk mampu membantu dirinya sendiri.
3). Konselor mendorong klien untuk mengungkapkan perasaannya secara bebas, berkaitan dengan masalahnya.
Dengan menunjukkan sikap permisif, santai, penuh keakraban, kehangatan, terbuka, serta terhindar dari ketegangan-ketegangan, memungkinkan klien untuk mengungkapkan perasaannya, sehingga dirasakan meredanya ketegangan atau tekanan batinnya.
4). Konselor secara tulus menerima dan menjernihkan perasaan klien yang sifatnya negative dengan memberikan respons yang tulus dan menjernihkan kembali perasaan negative dari klien.
5). Setelah perasaan negative dari klien terungkapkan,maka secara psikologis bebannya mulai berkurang. Sehingga ekspresi-ekspresi positif akan muncul, dan memungkinkan klien untuk bertumbuh dan berkembang.
6). Konselor menerima perasaan positif yang diungkapkan klien.
7). Saat klien mencurahkan perasaannya secara berangsur muncul perkembangan  terhadap wawasan (insight) klien mengenal dirinya, dan pemahaman (understanding)serta penerimaan diri tersebut.
8). Apabila klien telah memiliki pemahaman terhadap masalahnya dan menerimanya, maka klien mulai membuat keputusan untuk melangkah memikirkan tindakan selanjutnya. Artinya bersamaan dengan timbulnya pemahaman, muncul proses verfikasi untuk mengambil keputusan dan tindakan memungkinkan yang akan diambil.
           
B.  Pendekatan Eklektik
Pada pendekatan eklektik, langkah-langkah yang diambil untuk melakukan terapi berdasarkan 2 pola, yaitu :
-                      Pola 1 : Dalam pola ini, langkah-langkah yang perlu dilakukan untuk membantu konseli adalah peninjauan pro dan kontra dari alternatif oleh konseli, kemudian dinilai dari sudut pandang “Bisa dipilih?; mungkin untuk dipilih?” (Possible?), selanjutnya “Ingin dipilih?” (Desirable?), dan yang terakhir adalah “Kalau dipilih, akan membawa hasil yang diharapkan?” (Feasible)
-                       Pola yang kedua adalah pola yang memungkinkan konselor melayani suatu kasus yang penyelesaiannya terutama menuntut perubahan sikap serta tindakan penyesuaian diri terhadap situasi kehidupan yang tidak dapat diubah dan harus diterima seadanya(a change case). Dalam pola ini, konselor melaksanakan wawancara konseling untuk penyesuaian diri (Interview for Adjustment). Untuk kasus ini, konselor membantu konseli untuk meninjau kembali sikap dan pandangannya sampai sekarang serta memikirkan sikap dan tindakan yang lebih baik.
Dalam pelaksanaan konseling eklektik tidak ada suatu tahapan yang spesifik. Untuk tahapan-tahapan konseling Carkhuff mengemukakan adan enam tahapan konseling eklektik. Enam tahapan tersebut adalah:
1)   . Tahapan eksplorasi
Ini adalah tahap awal dari proses konseling. Pada tahap ini konselor di harapkan untuk membangun suatu hubungan yang baik dengan konselor. Hal ini diperlukan karena dengan hubungan yang baik konselor dapat mencari informasi tetnang permasalahan yang dihadapi klien sebanyak-banyaknya.
2). Tahapan perumusan masalah
Bersama klien, konselor membuat rumusan dan membuat kesepakatan bersama tentang masalah apa yang dihadapi oleh klien. Jika rumusan tidak disepakati maka kembali ke tahap pertama.
3). Tahap identifikasi masalah
Pada tahap ini konselor dan klien bersama mengidentifikasi masalah dan alternatif masalah dari hasil perumusan masalah. Aternatif yang yang diidentifikasi adalah alternatif yang tepat dan realistik. Konselor tidak boleh menentukan alternatif mana yang akan digunakan, akan tetapi semua keputusan tetang penggunaan alternatif pemecahan masalah berada di tangan klien. Konselor hanya membantu dalam menyusun daftar alternatif.
4. Tahap perencanaan
Jika klien telah menentukan alternatif pemecahan masalah. Kemudian klien bersama konselor membuat rencana tindakan. Rencana tersebut antara lain tentang apa yang akan dilakukan, bagaimana caranya, kapan waktunya, dsb. Syarat rencana yang baik antara lain:
· Realistik
· Bertahap
· Mempunyai tujuan yang jelas
· Dapat dipahami klien
5). Tahap tindakan atau komitmen
Pada tahap selanjutnya hasil petencanaan kemudian dilaksanakan. Disini klien harus melakukan rencana yang telah disusun. Pelaksanaan ini harus dilakukan karena proses konseling akan sia-sia jika perencananan yang telah disusun sedemikian rupa tidak dilaksanakan.
6. Tahap penilaian dan umpan balik
Konselor dan klien perlu mendapatkan umpan balik dan penilaian tentang keberhasilanya. Jika dirasa gagal maka perlu adannya tinjauan atau perencanaan ulang dalam memberi tindakan terhadap masalah yang dihadapi klien. Sehingga dapat dicari siatu tindakan yang paling tepat untuk menghadapi masalah yanmg dihadapi oleh klien.

Masalah-Masalah yang dihadapi konselor yaitu :

Menurut 

CAVANAGH (1982)
1. KEBOSANAN
2. HOSTILITAS
3. BERBAGAI KESALAHAN KONSELOR
4. MANIPULASI
5. PENDERITAAN
6. HUB YG MEMBANTU VS HUB YG TIDAK MEMBANTU
7. MENGHAKHIRI KONSELING
8. BURNOUT (GLADDING, 1992)

Daftar Pustaka :
diunduh    tanggal : 24 Maret 2012, 19:15:00
oleh Widia Boru Rangkuti. tanggal : 24 Maret 2012, 19:15:00

Selasa, 03 April 2012

Kasus Kecanduan (adiksi) ditelaah dari teori psikologi

Kasus diambil dari novel Detik Terakhir, dimana penulis buku tersebut dalam bukunya menyebutkan bahwa cerita dalam novel Detik Terakhir diangkat dari kisah nyata. Berikut adalah keterangan buku :
Judul







: Detik Terakhir  
No. ISBN
: 9789792222142 
Penulis
 : Alberthiene Endah 
Penerbit
Tanggal terbit
: Juni - 2006 
Jumlah Halaman
: 248 
           
            Nama tokoh dalam novel  Detik Terakhir adalah Arimbi. Dimana proses kecanduan berawal dari tawaran salah seorang bandar narkoba yang datang ke kantin sekolahnya saat Arimbi bolos dari pelajaran di kelas. Sebelumnya Arimbi merupakan anak perempuan nakal yang sering bolos bersama teman laki-laki unutk merokok dan menonton film porno. Hal ini dilakukan Arimbi sebagai bentuk perlawanan terhadap tingkah laku kedua orangtuanya yang tidak peduli dengan dirinya. Setelah pertama kali mengkonsumsi narkoba, Arimbi merasa pusing tetapi juga merasakan “kenikmatan” berbeda yang dirasakan daripada merokok dan melakukan kenakalan anak sekolahan. Arimbi semakin sering mengkonsumsi narkoba ketika bertemu dengan kelompok pecandu narkoba yang membuat Arimbi merasa nyaman. Dia juga bertemu dengan seorang yang dia cintai bernama Vera (Arimbi menjadi seorang lesbi).
            Arimbi adalah anak tunggal dari keluarga yang kaya raya, tetapi orangtuanya sangat sibuk dengan pekerjaan masing-masing, sehingga Arimbi diabaikan oleh kedua orangtuanya. Sejak kecil Arimbi dimanjakan oleh orangtuanya dengan cara memenuhi semua keinginan dan kebutuhan hidup Arimbi, tetapi Arimbi tidak diberikan kasih sayang,dan  perhatian serta tidak diajarkan moral (perilaku yang baik dan buruk). Orangtua Arimbi merasa telah cukup baik dalam membesarkan Arimbi.
            Ketika Arimbi tertangkap oleh polisi karena narkoba, orangtuanya hanya membebaskan Arimbi tanpa mengontrol dan mengawasi Arimbi lebih lanjut. Sehingga Arimbi menjadi langganan polisi dan sering kabur dari panti rehabilitasi. Arimbi tidak pernah berubah, tetap menjadi pecandu narkoba karena orangtuanya tidak merubah sikapnya. Tetapi Arimbi mempunyai semangat untuk melanjutkan hidup karena kekasihnya yang bernama Vela. Arimbi yakin dapat hidup bahagia jika bersama Vela. Ketika Arimbi masuk panri rehabilitasi, dia tidak ingin berhenti kecanduan karena orangtuanya yang memasukkan dia ke panti rehab. Tetapi, dia merasa bisa berhenti kecanduan karena kekasihnya Vela.
Berdasarkan kasus diatas, maka dapat dikatakan bahwa faktor-faktor psikososial penyebab Arimbi kecanduan yaitu :
1. Keluarga : Dimana Arimbi merupakan anak tunggal dari keluarga yang tidak pernah memberikan perhatian dan kasih sayang kepadanya. Awalnya mengkonsumsi narkoba sebagai bentuk perlawanan terhadap tingkah laku kedua orangtuanay.
2. Kelompok Sosial : Arimbi yang merasa nyaman ketika berada dalam kelompok pecandu narkoba, karena dalam kelompok tersebut dia diterima dengan baik, tidak seperti kehidupannya di rumah.
3. Gaya Hidup : Alone (sendirian, kesepian) dalam hal ini dapat menjadi faktor penyebab Arimbi kecanduan.
4. Lingkungan : Lingkungan perkotaan, dimana banyaknya pecandu dan bandar narkoba yang bebas berkeliaran membuat orang menjadi pemakai narkoba. Dalam kasus ini, Arimbi yang pertam kali mencicipi narkoba di kantin sekolahnya sendiri membuat lingkungan / keadaan di sekolah menjadi penyebab awal Arimbi menjadi pecandu narkoba.
5. Perasaan : Ketegangan dalam diri karena masalah keluarga, lingkungan dan permasalahan dalam diri ketika mencari jati diri membuat Arimbi mencoba untuk memakai narkoba dan akhirnya kecanduan.

            Analisis psikologi penyebab kecanduan yaitu berdasarkan teori Albert Bandura yang mengemukakan reciprocal determinism yaitu seseorang akan bertingkah laku dalam suatu situasi yang dia pilih secara aktif. Dalam hal ini, Arimbi secara aktif memilih menggunakan narkoba karena situasi keluarga yang tidak diinginkannya. Bandura dalam teorinya menerangkan tentang self efficacy yang mengatakan tentang persepsi seseorang mengenai kemampuan seseorang dalam menghadapi masalah. Dalam self efficacy terdapat Efficacy expectations yang menghasilkan outcome yaitu antisipasi dari hubungan yang sistematik antara kejadian-kejadian atau objek-objek dalam suatu situasi. Bentuknya adalah “jika-maka” antara perilaku dan hasilnya.    Pada kasus, dapat diterangkan bahwa jika Arimbi mengkonsumsi narkoba, maka hasil yag didapat olehnya yaitu “bebas” dari masalahnya di rumah.